BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Berdasarkan data terakhir dari Badan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menyebutkan 250 juta penduduk dunia (4,5%) membawa genetik talasemia. Dari 250
juta, 80 – 90 juta diantaranya membawa genetik talasemia beta. (Iskandar, 2010)
Sementara di Indonesia jumlah
penderita talasemia hingga tahun 2009 naik menjadi 8,3% dari 3.653 penderita
yang tercatat pada tahun 2006. Hampir 90% para penderita penyakit genetik
sintesin Haemoglobin (Hb) ini berasal dari kalangan masyarakat miskin.
Kejadian talasemia sampai saat ini tidak bisa terkontrol terkaut faktor
genetik sebagai batu sandungan dan belum maksimalnya tindakan screening untuk talasemia khususnya di
Indonesia. (Ruswandi, 2009)
Talasemia pertama kali ditemukan pada tahun 1925 ketika Dr. Thomas B.
Cooley mendeskripsikan 5 anak anak dengan anemia berat,
splenomegali, dan biasanya ditemukan abnormal pada tulang yang disebut
kelainan eritroblastik atau anemia
Mediterania karena sirkulasi sel darah merah dan nukleasi. Pada tahun 1932
Whipple dan Bradford menciptakan istilah thalasemia dari bahasa yunani yaitu
thalassa, yang artinya laut (laut tengah) untukmendeskripsikan ini. Beberapa
waktu kemudian, anemia mikrositik ringan
dideskripsikan pada keluarga pasien anemia Cooley, dan segera menyadari bahwa
kelainan ini disebabkan oleh gen
abnormal heterozigot. Ketika homozigot, dihasilkan anemia Cooley yang
berat. (Rudolf dkk, 2002)
Thalasemia merupakan penyakit yang diturunkan. Pada
penderita thalasemia, hemoglobin mengalami penghancuran (hemolisis). penghancuran terjadi karena adanya gangguan
sintesis rantai hemoglobin atau rantai globin.
Hemoglobin orang dewasa terdiri dari HbA yangmerupakan 98% dari seluruh
hemoglobinya. HbA2 tidak lebih dari 2% dan HbF 3%. Pada bayi baru lahir HbF
merupakan bagian terbesar dari hemoglobin (95%). Pada penderita thalasemia kelainan genetik
terdapat pada pembentukan rantai globin yang salah sehingga eritrosit lebih
cepat lisis. Akibatnya penderita harus menjalani tranfusi darah seumur
hidup. Selain transfusi darah rutin,
juga dibutuhkan agent pengikat besi (Iron Chelating Agent) yang harganya cukup
mahal untuk membuang kelebihan besi dalam tubuh. Jika tindakan ini tidak
dilakukan maka besi akan menumpuk pada
berbagai jaringan dan organ vital seperti jantung, otak, hati dan ginjal
yang merupakan komplikasi kematian dini.
Penyakit talasemia masih kurang dikenal oleh masyarakat. Padahal, di
Indonesia terdapat banyak penderita penyakit kelainan darah yang bersifat
diturunkan secara genetik dan banyak terdistribusi di Asia ini. Pencegahan
talasemia pun sulit dilakukan karena minimnya perhatian masyarakat dan sarana
yang dimiliki oleh tempat pelayanan kesehatan di Indonesia. Beberapa data
menunjukkan bahwa ada sekitar ratusan ribu orang pembawa sifat talasemia yang
beresiko diturunkan pada anak mereka serta data lain yang menemukan bahwa 6 –
10% penduduk Indonesia merupakan pembawa gennya. Penderita talasemia mayor di
Indonesia sudah tercatat sekitar 5.000 orang, selain yang belum terdata atau kesulitan mengakses layanan
kesehatan. Angka penderita di dunia lebih besar, yaitu setiap tahunnya ada
sekitar 100.000 penderita baru yang lahir dari pasangan pembawa gen. Begitu banyak
penderita talasemia di Indonesia, akan tetapi layanan kesehatan di Indonesia
masih sulit diakses oleh penderita talasemia. Biaya pengobatannya pun mahal,
karena pasien biasanya membutuhkan transfusi darah terus menerus untuk
memperpanjang hidupnya. Sedangkan
tidak ditemukan adanya kesembuhan yang sempurna pada penyakit thalasemia.
Kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap penyakit ini dan tidak sempurnanya
kesembuhan yang dicapai oleh penderita talasemia membuat penulis merasa perlu
memberikan perhatian lebih pada penyakit ini.
1.2
Rumusan Masalah
1.3
Tujuan
BAB
II
ISI
2.1 DEFINISI THALASEMIA
Sindrom talasemia
merupakan kelompok heterogen kelainan mendelian yang ditandai oleh defek yang
menyebabkan berkurangnya sintesis rantai α- atau β- globin. Rantai β dikode
oleh sebuah gen tunggal pada kromosom 11; rantai α dikode oleh dua buah gen
yang saling terkait dengan erat pada kromosom 16. (Mitchell dkk, 2009)
Talasemia adalah
sekelompok heterogen gangguan genetik pada sintesis Hb yang ditandai dengan
tidak ada atau berkurangnya sintesis rantai globin. (Robbins dkk, 2007)
Talasemia merupakan salah satu jenis anemia
hemolitik dan merupakan penyakit keturunan
yang diturunkan secara autosomal yang paling banyak dijumpai di Indonesia
dan Italia.
Enam sampai sepuluh dari setiap 100 orang Indonesia membawa gen penyakit ini.
Kalau sepasang dari mereka menikah,
kemungkinan untuk mempunyai anak penderita talasemia berat adalah 25%, 50%
menjadi pembawa sifat (carrier) talasemia, dan 25% kemungkinan bebas
talasemia. Sebagian besar penderita talasemia adalah anak-anak usia 0 hingga 18
tahun. (http://id.wikipedia.org/wiki/Talasemia)
Penyakit kelainan darah
talasemia atau anemia cooley adalah suatu penyakit herediter yang biasanya
ditandai dengan gejala penyakit anemia hemolitik oleh suatu kelainan
intrakospuskuler yang disebabkan karena
sesuatu kelainan hematologic dan juga kelainan yang terjadi pada tulang tulang
tertentu. (http://talasemia.org/)
Talasemia diwariskan
sebagai sifat kodominan autosomal. Bentuk heterozigot (talasemia minor atau
sifat talasemia) mungkin asimtomatik atau bergejala ringan. Bentuk homozigot
(talasemia mayor) berkaitan dengan anemia hemolitik yang berat. Gen mutan
sering ditemukan pada populasi Mediteranea, Afrika, dan Asia.
Patogenesis Molekular.
Terdapat pola kompleks defek molekular yang mendasari talasemia. Ingat bahwa Hb
dewasa, atau Hb A, adalah suatu tetramer yang terdiri atas dua rantai α, dan
dua rantai β. Rantai α dikode oleh dua gen α-globin, yang terletak beriringan
di kromosom 11. Sebaliknya, rantai β dikode oleh sebuah gen β-globin yang
terletak pada kromosom 16. (Robbins, dkk: 2007).
2.2
DEFEK GENETIK
· Sindrom
talasemia-β ditandai oleh defisiensi sintesis rantai β-globin:
Pada
talasemia β˚ tidak terdapat sama sekali rantai β-globin dalam keadaan
homozigot.
Pada
talasemia-β+ terdapat penurunan sintesis β-globin (tetapi masih
dapat terdeteksi)dalam keadaan homozigot.
Beberapa
mutasi titik yang berbeda dan memengaruhi transkripsi, pemrosesan atau
translasi β-globin mRNA yang dapat menyebabkan penyakit talasemia-β˚ atau
talasemia-β+. Mutasi yang menyebabkan kesalahan insersi mRNA (aberrant mRNA splicing) paling sering
terjadi.
· Penyakit
talasemia-α ditandai oleh penurunan sintesis rantai α-globin yang terjadi
karena delesi satu gen α-globin atau lebih.
2.3 PATOFISOLOGI
Hemoglobin yang terdapat dalam sel
darah merah, mengandung zat besi (Fe). Kerusakan sel darah merah pada penderita
thalasemia mengakibatkan zat besi akan tertinggal di dalam tubuh. Pada manusia
normal, zat besi yang tertinggal dalam tubuh digunakan untuk membentuk sel
darah merah baru.
Pada penderita thalasemia, zat besi
yang ditinggalkan sel darah merah yang rusak itu menumpuk dalam organ tubuh
seperti jantung dan hati (lever). Jumlah zat besi yang menumpuk dalam tubuh
atau iron overload ini akan mengganggu fungsi organ tubuh.Penumpukan zat besi
terjadi karena penderita thalasemia memperoleh suplai darah merah dari
transfusi darah. Penumpukan zat besi ini, bila tidak dikeluarkan, akan sangat
membahayakan karena dapat merusak jantung, hati, dan organ tubuh lainnya, yang
pada akhirnya bisa berujung pada kematian.
2.4 PENYEBARAN
TALASEMIA
Penyakit talasemia tersebar luas di daerah Mediterania
seperti Italia, Yunani, Afrika bagian utara, kawasan Timur Tengah, India
Selatan, Sri Langka sampai Asia Tenggara termasuk Indonesia. Frekuensi
talasemia di Asia Tenggara adalah 3 – 9% (Tjokronegoro, 2001).
Di Indonesia sendiri diperkirakan jumlah pembawa sifat
talasemia sekitar 5 – 6% dari jumlah populasi. Palembang (10%), Makassar
(7,8%), Ambon (5,8%), Jawa (3 – 4%), Sumatera Utara dan (1 – 1,5%).
2.5 MEKANISME TERJADINYA TALASEMIA
Talasemia terjadi karena tubuh tidak
dapat memproduksi rantai protein hemoglobin yang cukup. Hal ini menyebabkan sel
darah merah gagal terbentuk dengan baik dan tidak dapat membawa oksigen. Gen
memiliki peran dalam mensintesis rantai protein hemoglobin. Jika gen – gen ini
hilang atau diubah atau terganggu maka talasemia dapat terjadi.
2.6 TANDA DAN
GEJALA TALASEMIA
Pada talasemia mayor gejala klinik telah terlihat sejak anak baru berumur
kurang dari 1 tahun. Gejala yang nampak ialah anak lemah, pucat, perkembangan
fisik tidak sesuai dengan umur dan berat badannya kurang. Pada anak yang besar
sering dijumpai adanya gizi buruk, perut membuncit, karena adanya pembesaran
limpa dan hati mempengaruhi gerak pasien karena kemampuannya terbatas.
Pembesaran ini karena penghancuran sel darah merah terjadi di sana. Selain itu,
sumsum tulang juga bekerja lebih keras, karena berusaha mengkompensir
kekurangan hemoglobin. Akibatnya, tulang menjadi tipis dan rapuh. Gejala lain
yang terlihat adalah bentuk muka yang mongoloid, hidung pesek tanpa pangkal
hidung, jarak antara kedua mata lebar dan tulang dahi lebar, hal ini disebabkan
karena adanya ganguan perkembangan tulang muka dan tengkorak.
Keadaan kulit pucat kuning – kekuningan, jika pasien sering terdapat
tranfusi darah, kulit menjadi kelabu serupa dengan besi akibat penimbunan besi
dalam jaringan kulit. Penimbunan besi (hemosidorosis) dalam jaringan tubuh
seperti pada hepar, limpa, jantung akan mengakibatkan ganguan fatal alat – alat
tersebut (hemokromatosis). Gejala lain pada penderita talassemia adalah jantung
mudah berdebar – debar. Hal ini karena tugas hemoglobin membawa oksigen ke
seluruh tubuh. Pada talassemia, karena oksigen yang dibawa hemoglobin kurang,
maka jantung juga akan berusaha bekerja lebih keras, sehingga jantung penderita
akan mudah berdebar – debar. Lama kelamaan, jantung akan bekerja lebih keras,
sehingga cepat lelah. Akibatnya terjadi lemah jantung.
2.7 PENYEBAB
TALASEMIA
Penyebab
terjadinya penyakit talasemia antara lain :
1. Gangguan
genetik
Orang tua memiliki sifat carier (heterozygote) penyakit talasemia sehingga
klien memiliki gen resesif homozygote.
2.
Kelainan struktur hemoglobin
Menurut kelainan pada rantai Hb juga, thalasemia dapat dibagi menjadi 2
macam, yaitu : thalasemia alfa (penurunan sintesis rantai alfa) dan beta
(penurunan sintesis rantai beta).
3. Produksi
satu atau lebih dari satu jenis rantai polipeptida terganggu
4. Terjadi kerusakan sel darah merah (eritrosit) sehingga
umur eritrosit pendek (kurang dari 100
hari)
5. Deoksigenasi
(penurunan tekanan O2)
Eritrosit yang mengandung HbS melewati sirkulasi lebih lambat apabila
dibandingkan dengan eritrosit normal. Hal ini menyebabkan deoksigenasi (penurunan
tekanan O2) lebih lambat yang akhirnya menyebabkan peningkatan
produksi sel sabit.
Gejala
klinis talasemia
a. Talasemia
α
·
Silent carrier thalassemia-α
Secaa
hematologis penderita dinyatakan sehat, hanya ditemukan anemia ringan dan
jumlah sel darah merah (eritrosit) yang rendah. Pada tipe ini dengan hanya
pemeriksaan Hb tidak dapat memastikan diagnosis, dengan mencari adanya riwayat
kelainan darah pada anggota keluarga. Pemeriksaan darah pada panderita dan
orang tua dapat menjadi data yang kuat menuju diagnosis talasemia.
·
Penyakit Hb H
Gejalanya
dijumpai anemia sedang sampai berat, pembesaran limpa, menguningnya kulit dan
sklera mata karena pemimbunan bilirubin dalam darah,dan jumlah eritrosit yang
abnormal. Pada sediaan apus darah tepi yang diwarnai danagn pewarnaaan
supravital akan tampak eritrosit yang yang diinklusi oleh rantai tetramer β (Hb
H) yang tidak stabil dan dan terpresipitasi di dalam eritrosit, sehingga
eritrosit tampak seperti permukaan bola golf. Badan inlklusi ini dinamakan heinz
bodies.
·
Talasemia-α mayor
Kebanyakan
bayi yang lahr dengan syndrom ini lahir mati, dan walaupun bayi lahir hidup
akan meninggal dalam waktu beberapa jam. Bayi ini sangat hidropik, dengan
kemungkinan besar mengalami gagal jantung, dan edema anasarka berat.
b. Talasemia
β
·
Silent carrier thalassemia-β
Penderita
tipe ini tidak memperlihatkan gejala khusus, hanya ditemukan kadar eritrosit
yang rendah.
·
Talasemia β minor
Penderita
mengalami anemia ringan, kadar eritrosit yang abnormal, pada pemeriksaan Hb
terlihat abnormal dengan adanya peningkatan jumlah HbA2, HbF, atau
keduanya.
·
Talasemia intermedia
Gejala
klinisnya berada diantara talasemia mayor dan minor. Pasien dengan tipe ini
secara genetik bersifat heterogen.
·
Talasemia-β homozigot / mayor
kadarHb
dalam darahnya berkisar 3-6 gm/dL. Kadar zat besi dalam darah sangat tinggi..
Pada sediaan darah tepi terlihat adanya kelainan yang berat seperti
anisositosis yang sangat terlihat, banyak sel darah merah yang mikrositik
hipokromik, sel-sel target, sel darah merah yang berbintik-bintik, atau
terfragmentasi. Pembesaran hati dan limpa akibat kerusakan eritrosit yang
berlebihan sehingga organ tersebut bekerja lebih keras dan adanya penumpukan
zat besi dalam organ.
Pelebaran tulang (hyperplasia) sumsum tulang
yang berlebihan yang menyebabkan facies cooley dan penipisan korteks dibanyak
tulang yang mengakibatkan kecenderungan terjadinga fraktur (patah tulang) dan
penonjolan tengkorak. Karena penyerapan zat besi yang meningkat dan menumpuk
pada organ dan darah dapat menimbulkan kerusakan hati, organ endokrin,
kegagalan pertumbuhan, keterlambatan / tidak terjadi pubertas, DM, gagal
jantung.
Treatment
pada penderita thalasemia:
·
Tranfusi darah
Tranfusi
darah dapat dilakukan untuk mempertahankan kadar Hb diatas 10 gm/dL darah. Tranfusi
darah dapat memungkinkan penderita melakukan aktivitas normal dengan lebih
nyaman, mencegah kerja sumsum tulang berlebihan, perubahan tulang-tulang muka.
Tranfusi dilakukan dengan dosis 2-3 unit tiap 4-6 minggu. Darang yang telah
disaring dari leukosit menghasilkan eritrosit dengan ketahanan terbaik.
·
Asam Folat
Asam
folat diberikan teratur (5 mg/ hari). Asam folat dapat membatu pembentukan sel
darah merah yang sehat. s
·
Vitamin C
Pemberian
vitamin c meningkatkan ekskresi besi yang berlebih. Vitamin c bekerja sebagai
koenzim dan pada keadaan tertentu merupakan reduktor dan antioksidan. Dengan
mereduksi ion feri menjadi fero dalam lambung vitamin C meningkatkan absorpsi
besi
·
Terapi khelasi besi
Digunakan
untuk mengatasi kelebihan Fe (karena transfusi jangka panjang dan gangguan
absorpsi besi). Kondisi ini dapat merusak hati, jantung dan organ
lainnya.terdapat dua obat yang digunakan dalam terapi ini : Desferioksamin
diberikan lewat infus. Besi yang terkhelasi diekskresikan lewat urin dan tinja,
efek samping yang mungkin timbul adalah kehilangan pengelihatan dan
pendengaran. Deferasirox adalah pil yang dikonsumsi sekali sehari, memiliki
efek samping sakit kepala, mual, muntah, diare, sakit sendi, kelelahan. Terapi ini dapat memperbaiki kerusakan
jantung akibat penumpukan besi.
·
Splenoktomi
Speloktomi
adalah operasi pengangkatan limpa. Pada pasien thalasemia, pembesran limpa
terjadi akibat penghancuran eritrosit yang berlebihan. Apabila limpa semakin
besar, fungsi limpa tidak terkontrol dan menimbulkan serangkaina gejala
hipersplenisme yaitu limpa yang sangat besar, rasa perut penuh, tidak mampu
makan banyak karena desakan limpa pada organ saluram cern, rendahnya leukosit,
eritrosit, trombosit. Pada pasien thalsemia kelebihan zat besiakibat transfusi
ditimbun di limpa .Pasien harus berusia >6 tahun karena tingginya resiko
infeksi berbahaya pasca splenoktomi
·
Transplantasi sumsum tulang belakang
Darah
dan sumsum transplantasi sel induk normal akan menggantikan sel sel induk yang
rusak. Sel-sel induk berada di dalam sumsum tulang yang membuat sel darah
merah. Donor dapat berasal dari saudara
kandung atau anggota keluarga lain dengan antigen leukosit manusia yang sesuai.
Pencegahan
Ada
beberapa cara untuk pencegahan thalasemia:
1. Screening
pembawa sifat thalasemia
Skrining
pembawa sifat dapat dilakukan dengan cara prospektif dan retrospektif.
Prospektif berarti secara aktif mencari pembawa sifat thalasemia langsung dari
populasi di berbagai wilayah. Retrospektif adalah menemukan pembawa sifat
thalasemia melalui penelusuran keluarga thalasemia. Orang dengan pembawa sifat
ini kemudian diberi informasi dan saran tentang keadaannya dan masa depannya.
Pencegahan thalasemia sebaiknya dilakukan baik secara prospektif dan
retrospektif.
2. Konsultasi
genetik
Konsultasi
genetik mencakupi skrining pasangan yang akan kawin atau sudah kawin tetapi
belum hamil. Pada pasangan yang beresiko tinggi diberikan informasi dan saran
tentang keadaan dan kemungkinan apabila mempunyai anak.
3. Diagnosis
prenatal
Diagnosis
prenatal meliputi 2 pendekatan yaitu retrospektif adalah melakukan diagnosis
prenatal pada pasangan yang telah mempunyai anak thalasemia dan sekarang
sementara hamil dan yang kedua prospektif yang ditujukan pada pasangan yang
beresiko tinggi (keduaya pembawa sifat) dan sementara baru hamil. Diagnosis
prenatal dilakukan pada masa kehamilan 8-10 minggu. Mutasi thalasemia β dapat
dideteksi dangan analisis DNA yang diperoleh dari fetus. Deteksi awal akan
dapat mencegah akibat berbahaya bagi si ibu yaitu toksemia dan pendarahan hebat
pasca melahirkan. Jika hasil yang didapat positif sebaiknya dilakukan aborsi.
Dalam upaya pencegahan thalasemia
ada beberapa hal yang perlu dipahami masyarakat: pembawa sifat thalasemia tidak
menimbulkan masalah bagi dirinya, thalasemia mayor mempunyai dampak kesehatan
yang besar, penanganannya sangat mahal dan sering diakhiri kematian, kelahiran
bayi thalasemia dapat dihindarkan. Karena penyakit ini menurun maka kemungkinan
penderitanya akan terus bertambah setiap tahunnya. Oleh sebab itu, pemeriksaan
thalasenia sebelum menikah sangat penting untuk mencegah bertbahnya penderita
thalasemia.
Sebaiknya senua orang dalam usia
subur diperiksa kemungkinan pembawa sifat thalasema ini apabila ada riwayat:
ada saudara sedarah yang menderita thalasemia, kadar Hb rendah antara 10-12
g/dL walaupun sudah mengkonsumsi vitamin penambah darah seperti zat besi,
ukuran sel darah merah lebih kecil dari normal walaupun kadar Hb normal.