Selasa, 17 Desember 2013

Thalasemia



BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang

Berdasarkan data terakhir dari Badan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan 250 juta penduduk dunia (4,5%) membawa genetik talasemia. Dari 250 juta, 80 – 90 juta diantaranya membawa genetik talasemia beta. (Iskandar, 2010)
Sementara di Indonesia  jumlah penderita talasemia hingga tahun 2009 naik menjadi 8,3% dari 3.653 penderita yang tercatat pada tahun 2006. Hampir 90% para penderita penyakit genetik sintesin Haemoglobin (Hb) ini berasal dari kalangan masyarakat miskin.
Kejadian talasemia sampai saat ini tidak bisa terkontrol terkaut faktor genetik sebagai batu sandungan dan belum maksimalnya tindakan screening untuk talasemia khususnya di Indonesia. (Ruswandi, 2009)
Talasemia pertama kali ditemukan pada tahun 1925 ketika Dr. Thomas B. Cooley mendeskripsikan 5 anak anak dengan anemia berat, splenomegali, dan biasanya ditemukan abnormal pada tulang  yang disebut  kelainan eritroblastik  atau anemia Mediterania karena sirkulasi sel darah merah dan nukleasi. Pada tahun 1932 Whipple dan Bradford menciptakan istilah thalasemia dari bahasa yunani yaitu thalassa, yang artinya laut (laut tengah) untukmendeskripsikan ini. Beberapa waktu kemudian, anemia mikrositik  ringan dideskripsikan pada keluarga pasien anemia Cooley, dan segera menyadari bahwa kelainan ini disebabkan oleh gen  abnormal heterozigot. Ketika homozigot, dihasilkan anemia Cooley yang berat. (Rudolf dkk, 2002)
Thalasemia merupakan penyakit yang diturunkan. Pada penderita thalasemia, hemoglobin mengalami penghancuran (hemolisis).  penghancuran terjadi karena adanya gangguan sintesis rantai hemoglobin atau rantai globin.  Hemoglobin orang dewasa terdiri dari HbA yangmerupakan 98% dari seluruh hemoglobinya. HbA2 tidak lebih dari 2% dan HbF 3%. Pada bayi baru lahir HbF merupakan bagian terbesar dari hemoglobin (95%).  Pada penderita thalasemia kelainan genetik terdapat pada pembentukan rantai globin yang salah sehingga eritrosit lebih cepat lisis. Akibatnya penderita harus menjalani tranfusi darah seumur hidup.  Selain transfusi darah rutin, juga dibutuhkan agent pengikat besi (Iron Chelating Agent) yang harganya cukup mahal untuk membuang kelebihan besi dalam tubuh. Jika tindakan ini tidak dilakukan maka besi akan menumpuk pada  berbagai jaringan dan organ vital seperti jantung, otak, hati dan ginjal yang merupakan komplikasi kematian dini.
   Penyakit talasemia masih kurang dikenal oleh masyarakat. Padahal, di Indonesia terdapat banyak penderita penyakit kelainan darah yang bersifat diturunkan secara genetik dan banyak terdistribusi di Asia ini. Pencegahan talasemia pun sulit dilakukan karena minimnya perhatian masyarakat dan sarana yang dimiliki oleh tempat pelayanan kesehatan di Indonesia. Beberapa data menunjukkan bahwa ada sekitar ratusan ribu orang pembawa sifat talasemia yang beresiko diturunkan pada anak mereka serta data lain yang menemukan bahwa 6 – 10% penduduk Indonesia merupakan pembawa gennya. Penderita talasemia mayor di Indonesia sudah tercatat sekitar 5.000 orang, selain yang belum terdata atau kesulitan mengakses layanan kesehatan. Angka penderita di dunia lebih besar, yaitu setiap tahunnya ada sekitar 100.000 penderita baru yang lahir dari pasangan pembawa gen. Begitu banyak penderita talasemia di Indonesia, akan tetapi layanan kesehatan di Indonesia masih sulit diakses oleh penderita talasemia. Biaya pengobatannya pun mahal, karena pasien biasanya membutuhkan transfusi darah terus menerus untuk memperpanjang hidupnya. Sedangkan tidak ditemukan adanya kesembuhan yang sempurna pada penyakit thalasemia. Kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap penyakit ini dan tidak sempurnanya kesembuhan yang dicapai oleh penderita talasemia membuat penulis merasa perlu memberikan perhatian lebih pada penyakit ini.



1.2    Rumusan Masalah
1.3    Tujuan

























BAB II
ISI

2.1 DEFINISI THALASEMIA
Sindrom talasemia merupakan kelompok heterogen kelainan mendelian yang ditandai oleh defek yang menyebabkan berkurangnya sintesis rantai α- atau β- globin. Rantai β dikode oleh sebuah gen tunggal pada kromosom 11; rantai α dikode oleh dua buah gen yang saling terkait dengan erat pada kromosom 16.        (Mitchell dkk, 2009)
Talasemia adalah sekelompok heterogen gangguan genetik pada sintesis Hb yang ditandai dengan tidak ada atau berkurangnya sintesis rantai globin. (Robbins dkk, 2007)
Talasemia merupakan salah satu jenis anemia hemolitik dan merupakan penyakit keturunan yang diturunkan secara autosomal yang paling banyak dijumpai di Indonesia dan Italia. Enam sampai sepuluh dari setiap 100 orang Indonesia membawa gen penyakit ini. Kalau sepasang dari mereka menikah, kemungkinan untuk mempunyai anak penderita talasemia berat adalah 25%, 50% menjadi pembawa sifat (carrier) talasemia, dan 25% kemungkinan bebas talasemia. Sebagian besar penderita talasemia adalah anak-anak usia 0 hingga 18 tahun. (http://id.wikipedia.org/wiki/Talasemia)
Penyakit kelainan darah talasemia atau anemia cooley adalah suatu penyakit herediter yang biasanya ditandai dengan gejala penyakit anemia hemolitik oleh suatu kelainan intrakospuskuler yang  disebabkan karena sesuatu kelainan hematologic dan juga kelainan yang terjadi pada tulang tulang tertentu. (http://talasemia.org/)
Talasemia diwariskan sebagai sifat kodominan autosomal. Bentuk heterozigot (talasemia minor atau sifat talasemia) mungkin asimtomatik atau bergejala ringan. Bentuk homozigot (talasemia mayor) berkaitan dengan anemia hemolitik yang berat. Gen mutan sering ditemukan pada populasi Mediteranea, Afrika, dan Asia.
Patogenesis Molekular. Terdapat pola kompleks defek molekular yang mendasari talasemia. Ingat bahwa Hb dewasa, atau Hb A, adalah suatu tetramer yang terdiri atas dua rantai α, dan dua rantai β. Rantai α dikode oleh dua gen α-globin, yang terletak beriringan di kromosom 11. Sebaliknya, rantai β dikode oleh sebuah gen β-globin yang terletak pada kromosom 16. (Robbins, dkk: 2007).
       
2.2 DEFEK GENETIK
·      Sindrom talasemia-β ditandai oleh defisiensi sintesis rantai β-globin:
Pada talasemia β˚ tidak terdapat sama sekali rantai β-globin dalam keadaan homozigot.
Pada talasemia-β+ terdapat penurunan sintesis β-globin (tetapi masih dapat terdeteksi)dalam keadaan homozigot.
Beberapa mutasi titik yang berbeda dan memengaruhi transkripsi, pemrosesan atau translasi β-globin mRNA yang dapat menyebabkan penyakit talasemia-β˚ atau talasemia-β+. Mutasi yang menyebabkan kesalahan insersi mRNA (aberrant mRNA splicing) paling sering terjadi.   
·      Penyakit talasemia-α ditandai oleh penurunan sintesis rantai α-globin yang terjadi karena delesi satu gen α-globin atau lebih.
2.3 PATOFISOLOGI
Hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah, mengandung zat besi (Fe). Kerusakan sel darah merah pada penderita thalasemia mengakibatkan zat besi akan tertinggal di dalam tubuh. Pada manusia normal, zat besi yang tertinggal dalam tubuh digunakan untuk membentuk sel darah merah baru.
Pada penderita thalasemia, zat besi yang ditinggalkan sel darah merah yang rusak itu menumpuk dalam organ tubuh seperti jantung dan hati (lever). Jumlah zat besi yang menumpuk dalam tubuh atau iron overload ini akan mengganggu fungsi organ tubuh.Penumpukan zat besi terjadi karena penderita thalasemia memperoleh suplai darah merah dari transfusi darah. Penumpukan zat besi ini, bila tidak dikeluarkan, akan sangat membahayakan karena dapat merusak jantung, hati, dan organ tubuh lainnya, yang pada akhirnya bisa berujung pada kematian.
2.4 PENYEBARAN TALASEMIA
Penyakit talasemia tersebar luas di daerah Mediterania seperti Italia, Yunani, Afrika bagian utara, kawasan Timur Tengah, India Selatan, Sri Langka sampai Asia Tenggara termasuk Indonesia. Frekuensi talasemia di Asia Tenggara adalah 3 – 9% (Tjokronegoro, 2001).
Di Indonesia sendiri diperkirakan jumlah pembawa sifat talasemia sekitar 5 – 6% dari jumlah populasi. Palembang (10%), Makassar (7,8%), Ambon (5,8%), Jawa (3 – 4%), Sumatera Utara dan (1 – 1,5%).

2.5 MEKANISME TERJADINYA TALASEMIA
Talasemia terjadi karena tubuh tidak dapat memproduksi rantai protein hemoglobin yang cukup. Hal ini menyebabkan sel darah merah gagal terbentuk dengan baik dan tidak dapat membawa oksigen. Gen memiliki peran dalam mensintesis rantai protein hemoglobin. Jika gen – gen ini hilang atau diubah atau terganggu maka talasemia dapat terjadi.

2.6 TANDA DAN GEJALA TALASEMIA
Pada talasemia mayor gejala klinik telah terlihat sejak anak baru berumur kurang dari 1 tahun. Gejala yang nampak ialah anak lemah, pucat, perkembangan fisik tidak sesuai dengan umur dan berat badannya kurang. Pada anak yang besar sering dijumpai adanya gizi buruk, perut membuncit, karena adanya pembesaran limpa dan hati mempengaruhi gerak pasien karena kemampuannya terbatas. Pembesaran ini karena penghancuran sel darah merah terjadi di sana. Selain itu, sumsum tulang juga bekerja lebih keras, karena berusaha mengkompensir kekurangan hemoglobin. Akibatnya, tulang menjadi tipis dan rapuh. Gejala lain yang terlihat adalah bentuk muka yang mongoloid, hidung pesek tanpa pangkal hidung, jarak antara kedua mata lebar dan tulang dahi lebar, hal ini disebabkan karena adanya ganguan perkembangan tulang muka dan tengkorak.
Keadaan kulit pucat kuning – kekuningan, jika pasien sering terdapat tranfusi darah, kulit menjadi kelabu serupa dengan besi akibat penimbunan besi dalam jaringan kulit. Penimbunan besi (hemosidorosis) dalam jaringan tubuh seperti pada hepar, limpa, jantung akan mengakibatkan ganguan fatal alat – alat tersebut (hemokromatosis). Gejala lain pada penderita talassemia adalah jantung mudah berdebar – debar. Hal ini karena tugas hemoglobin membawa oksigen ke seluruh tubuh. Pada talassemia, karena oksigen yang dibawa hemoglobin kurang, maka jantung juga akan berusaha bekerja lebih keras, sehingga jantung penderita akan mudah berdebar – debar. Lama kelamaan, jantung akan bekerja lebih keras, sehingga cepat lelah. Akibatnya terjadi lemah jantung.

2.7  PENYEBAB TALASEMIA
Penyebab terjadinya penyakit talasemia antara lain :
1.    Gangguan genetik
Orang tua memiliki sifat carier (heterozygote) penyakit talasemia sehingga klien memiliki gen resesif homozygote.
2.    Kelainan struktur hemoglobin
Menurut kelainan pada rantai Hb juga, thalasemia dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu : thalasemia alfa (penurunan sintesis rantai alfa) dan beta (penurunan sintesis rantai beta).
3.    Produksi satu atau lebih dari satu jenis rantai polipeptida terganggu
4.    Terjadi kerusakan sel darah merah (eritrosit) sehingga umur eritrosit   pendek (kurang dari 100 hari)
5.    Deoksigenasi (penurunan tekanan O2)
Eritrosit yang mengandung HbS melewati sirkulasi lebih lambat apabila dibandingkan dengan eritrosit normal. Hal ini menyebabkan deoksigenasi (penurunan tekanan O2) lebih lambat yang akhirnya menyebabkan peningkatan produksi sel sabit.

Gejala klinis talasemia
a.       Talasemia α
·         Silent carrier thalassemia-α
Secaa hematologis penderita dinyatakan sehat, hanya ditemukan anemia ringan dan jumlah sel darah merah (eritrosit) yang rendah. Pada tipe ini dengan hanya pemeriksaan Hb tidak dapat memastikan diagnosis, dengan mencari adanya riwayat kelainan darah pada anggota keluarga. Pemeriksaan darah pada panderita dan orang tua dapat menjadi data yang kuat menuju diagnosis talasemia.
·         Penyakit Hb H
Text Box: heinz bodies pada eritrositGejalanya dijumpai anemia sedang sampai berat, pembesaran limpa, menguningnya kulit dan sklera mata karena pemimbunan bilirubin dalam darah,dan jumlah eritrosit yang abnormal. Pada sediaan apus darah tepi yang diwarnai danagn pewarnaaan supravital akan tampak eritrosit yang yang diinklusi oleh rantai tetramer β (Hb H) yang tidak stabil dan dan terpresipitasi di dalam eritrosit, sehingga eritrosit tampak seperti permukaan bola golf. Badan inlklusi ini dinamakan heinz bodies.
                                   
·         Talasemia-α mayor
Kebanyakan bayi yang lahr dengan syndrom ini lahir mati, dan walaupun bayi lahir hidup akan meninggal dalam waktu beberapa jam. Bayi ini sangat hidropik, dengan kemungkinan besar mengalami gagal jantung, dan edema anasarka berat.
b.      Talasemia β
·         Silent carrier thalassemia-β
Penderita tipe ini tidak memperlihatkan gejala khusus, hanya ditemukan kadar eritrosit yang rendah.


·         Talasemia β minor
Penderita mengalami anemia ringan, kadar eritrosit yang abnormal, pada pemeriksaan Hb terlihat abnormal dengan adanya peningkatan jumlah HbA2, HbF, atau keduanya.
·         Talasemia intermedia
Gejala klinisnya berada diantara talasemia mayor dan minor. Pasien dengan tipe ini secara genetik bersifat heterogen.
·         Talasemia-β homozigot / mayor
kadarHb dalam darahnya berkisar 3-6 gm/dL. Kadar zat besi dalam darah sangat tinggi.. Pada sediaan darah tepi terlihat adanya kelainan yang berat seperti anisositosis yang sangat terlihat, banyak sel darah merah yang mikrositik hipokromik, sel-sel target, sel darah merah yang berbintik-bintik, atau terfragmentasi. Pembesaran hati dan limpa akibat kerusakan eritrosit yang berlebihan sehingga organ tersebut bekerja lebih keras dan adanya penumpukan zat besi dalam organ.
 Pelebaran tulang (hyperplasia) sumsum tulang yang berlebihan yang menyebabkan facies cooley dan penipisan korteks dibanyak tulang yang mengakibatkan kecenderungan terjadinga fraktur (patah tulang) dan penonjolan tengkorak. Karena penyerapan zat besi yang meningkat dan menumpuk pada organ dan darah dapat menimbulkan kerusakan hati, organ endokrin, kegagalan pertumbuhan, keterlambatan / tidak terjadi pubertas, DM, gagal jantung.



Treatment pada penderita thalasemia:
·         Tranfusi darah
Tranfusi darah dapat dilakukan untuk mempertahankan kadar Hb diatas 10 gm/dL darah. Tranfusi darah dapat memungkinkan penderita melakukan aktivitas normal dengan lebih nyaman, mencegah kerja sumsum tulang berlebihan, perubahan tulang-tulang muka. Tranfusi dilakukan dengan dosis 2-3 unit tiap 4-6 minggu. Darang yang telah disaring dari leukosit menghasilkan eritrosit dengan ketahanan terbaik.
·         Asam Folat
Asam folat diberikan teratur (5 mg/ hari). Asam folat dapat membatu pembentukan sel darah merah yang sehat. s
·         Vitamin C
Pemberian vitamin c meningkatkan ekskresi besi yang berlebih. Vitamin c bekerja sebagai koenzim dan pada keadaan tertentu merupakan reduktor dan antioksidan. Dengan mereduksi ion feri menjadi fero dalam lambung vitamin C meningkatkan absorpsi besi
·         Terapi khelasi besi
Digunakan untuk mengatasi kelebihan Fe (karena transfusi jangka panjang dan gangguan absorpsi besi). Kondisi ini dapat merusak hati, jantung dan organ lainnya.terdapat dua obat yang digunakan dalam terapi ini : Desferioksamin diberikan lewat infus. Besi yang terkhelasi diekskresikan lewat urin dan tinja, efek samping yang mungkin timbul adalah kehilangan pengelihatan dan pendengaran. Deferasirox adalah pil yang dikonsumsi sekali sehari, memiliki efek samping sakit kepala, mual, muntah, diare, sakit sendi, kelelahan.  Terapi ini dapat memperbaiki kerusakan jantung akibat penumpukan besi.
·         Splenoktomi
Speloktomi adalah operasi pengangkatan limpa. Pada pasien thalasemia, pembesran limpa terjadi akibat penghancuran eritrosit yang berlebihan. Apabila limpa semakin besar, fungsi limpa tidak terkontrol dan menimbulkan serangkaina gejala hipersplenisme yaitu limpa yang sangat besar, rasa perut penuh, tidak mampu makan banyak karena desakan limpa pada organ saluram cern, rendahnya leukosit, eritrosit, trombosit. Pada pasien thalsemia kelebihan zat besiakibat transfusi ditimbun di limpa .Pasien harus berusia >6 tahun karena tingginya resiko infeksi berbahaya pasca splenoktomi
·         Transplantasi sumsum tulang belakang
Darah dan sumsum transplantasi sel induk normal akan menggantikan sel sel induk yang rusak. Sel-sel induk berada di dalam sumsum tulang yang membuat sel darah merah.  Donor dapat berasal dari saudara kandung atau anggota keluarga lain dengan antigen leukosit manusia yang sesuai.

Pencegahan
Ada beberapa cara untuk pencegahan thalasemia:
1.      Screening pembawa sifat thalasemia
Skrining pembawa sifat dapat dilakukan dengan cara prospektif dan retrospektif. Prospektif berarti secara aktif mencari pembawa sifat thalasemia langsung dari populasi di berbagai wilayah. Retrospektif adalah menemukan pembawa sifat thalasemia melalui penelusuran keluarga thalasemia. Orang dengan pembawa sifat ini kemudian diberi informasi dan saran tentang keadaannya dan masa depannya. Pencegahan thalasemia sebaiknya dilakukan baik secara prospektif dan retrospektif.
2.      Konsultasi genetik
Konsultasi genetik mencakupi skrining pasangan yang akan kawin atau sudah kawin tetapi belum hamil. Pada pasangan yang beresiko tinggi diberikan informasi dan saran tentang keadaan dan kemungkinan apabila mempunyai anak.
3.      Diagnosis prenatal
Diagnosis prenatal meliputi 2 pendekatan yaitu retrospektif adalah melakukan diagnosis prenatal pada pasangan yang telah mempunyai anak thalasemia dan sekarang sementara hamil dan yang kedua prospektif yang ditujukan pada pasangan yang beresiko tinggi (keduaya pembawa sifat) dan sementara baru hamil. Diagnosis prenatal dilakukan pada masa kehamilan 8-10 minggu. Mutasi thalasemia β dapat dideteksi dangan analisis DNA yang diperoleh dari fetus. Deteksi awal akan dapat mencegah akibat berbahaya bagi si ibu yaitu toksemia dan pendarahan hebat pasca melahirkan. Jika hasil yang didapat positif sebaiknya dilakukan aborsi.
            Dalam upaya pencegahan thalasemia ada beberapa hal yang perlu dipahami masyarakat: pembawa sifat thalasemia tidak menimbulkan masalah bagi dirinya, thalasemia mayor mempunyai dampak kesehatan yang besar, penanganannya sangat mahal dan sering diakhiri kematian, kelahiran bayi thalasemia dapat dihindarkan. Karena penyakit ini menurun maka kemungkinan penderitanya akan terus bertambah setiap tahunnya. Oleh sebab itu, pemeriksaan thalasenia sebelum menikah sangat penting untuk mencegah bertbahnya penderita thalasemia.
            Sebaiknya senua orang dalam usia subur diperiksa kemungkinan pembawa sifat thalasema ini apabila ada riwayat: ada saudara sedarah yang menderita thalasemia, kadar Hb rendah antara 10-12 g/dL walaupun sudah mengkonsumsi vitamin penambah darah seperti zat besi, ukuran sel darah merah lebih kecil dari normal walaupun kadar Hb normal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar